Jumat, Januari 20, 2006

Anyer, 26 April 2001.

Teruntuk Adinda dimanapun kau berada.

Adindaku sayang, aku sudah tiba di sini. Mungkin kau tak kan percaya dengan apa yang kulihat saat ini. Tapi aku benar-benar berada di sini. Kau tahu aku dimana? Ah, aku lupa ... bukankah aku sudah menuliskannya di langit-langit suratku ini? Dan kau pun pasti tidak sebodoh aku yang selalu melewatkan momen-momen kecil seperti hari, atau tanggal yang tertera setiap lembaran surat bagaikan sarang laba-laba yang selalu bergantung di atas meja tulisku.

Lalu? Bagaimana Dinda? Sudahkah kini kau percaya? Dari helaan ringan nafasmu yang (tentunya) memaklumi basa-basiku di atas pastilah kau sudah nyana tempat apa yang kumaksud dengan ke’tiba’anku kini.


Aku di bibir pantai, sayang …


Maafkan aku yang terlalu sok puitis menempatkan kalimat tersebut dengan makna italik yang landai.



... mungkin selandai kaki-kaki kecilku yang diam-diam menari bersama pasir putih


“Hahahahehe...”. Wah, bahkan lembaran ini menertawakan kepujanggaanku yang masih berusia balita. Dan kau pasti kini sedang tersenyum. Terima kasih sayang, sebingkai senyum sangatlah berharga bagiku. Jadi, itukah tandanya aku boleh meneruskan apa yang baru saja kumulai?

Adinda, ingatkah kau ketika kau mengira bahwa perjalanan ini tak kan dapat terwujud? Ternyata engkau keliru sayang, aku pun juga mungkin dulu berprasangka sama sepertimu, tapi tidak. Tidak begitu. Kusaksikan sendiri adanya tangan-tangan lain yang mendorong perahu kami sampai melabuhkan diri di sini. Tangan-tangan sahabat. Dan inilah pasir, inilah matahari, inilah asin laut, inilah kami, dengan tangan-tangan kecil kami yang jelmaannya mampu menghangatkan malam dengan nyanyian-nyanyian, mempermalukan api unggun yang keburu menyembunyikan dirinya di hangatnya pasir putih pantai ini.

Adindaku sayang, mungkin kini kau menyesali ketiadaanmu di sini, di sampingku. Tapi kuharap engkau terhibur dengan huruf-huruf yang kulayangkan kepadamu ini. Biarkan mereka mendendangkan dawai-dawai cahaya pagi yang membangunkan tidur kami di bawah buaian pohon kelapa. Walaupun sebenarnya aku sendiri was was dan khawatir bilakah nanti salah satu buahnya nekat menjatuhkan dirinya ke kepalaku yang sedang tertidur pulas?


…dengarlah betapa gagahnya ombak yang mendebur karang di pucuk-pucuk horison pandanganmu yang perlahan mulai mengatup dan tertidur …


Adinda, selintas aku pun merasa takut jua. Dan merasa kecil. Lebih kecil dari sel-sel kulitku yang terkadang membesar mengharapkan hangatnya bersentuhan dengan mentari di dinginnya malam. Pernahkah kau duduk di kanal-kanal, bertemankan gelap, debur ombak, dan gelegar kilat yang sibuk mencoretkan sketsanya di atas kepala-kepala kami? Di dinding-dinding angkasa yang menamakan dirinya; malam? Di sanalah aku merasa menyapa dirinya. Diriku yang kecil itu terlihat menggapai-gapai mengharapkan senyuman. Dan seketika itu pulalah aku bisa menghadirkan dirimu yang jauh ini di hadapanku, tersenyum. Bersama dengan semua yang ada di sini. Semua. Tersenyum kepadaku. Apakah kau tahu betapa indahnya saat-saat seperti itu? Saat-saat dimana engkau tahu bahwa engkau tidaklah sendiri. Ada jiwa-jiwa lain yang aku tahu mereka pun merasakan ketakutan yang sama sepertiku. Tapi semua ketakutan itu pun turut hilang bersama dengan redupnya gemuruh petir yang sayup terdengar di kejauhan.


…aku kini berdiri di kanal merengkuh semua jiwa yang tersenyum …


Adinda sayang, malam pun lewat sudah, fajar telah mengetuk mataku. Aku terbangun. Sejenak kuhirup wangi tubuhmu di kejauhan. Dan kuhampiri horison sekali lagi untuk menanyakan kepada mentari tentang kebodohanku. “...kutunggu engkau kemarin untuk terbenam-mu, akankah kini kau tampakkan terbit-mu? Mmm … kuharap jangan dulu. Hari ini bukan akhir dunia, bukan?”, pikirku polos. Dan seketika itu pula aku tertawakan kesadaranku yang belum utuh benar kukumpulkan dari ujung-ujung akar kelapa yang bergantungan di pohon kelapa, tempat ku dibuai semalam.

Adinda, pagiku ditemani dengan suara tawa, selembar tikar, komik jepang, dan tubuhku yang berbaring santai di bawah bayang nyiur. Aku lihat sahabat bercengkerama dengan ombak, ada yang baru pendekatan, ada yang masih malu-malu, walau tidak sedikit pula yang sudah kenal lebih dekat dan lebih intim. Mereka semua tertawa. Adinda, pernahkah kau hirup harumnya suara-suara canda sahabat? Berbaur dengan percikan laut yang diam-diam secara nakal membasahi tubuh-tubuh riang yang berlarian?


…dan aku terbaring kekenyangan, menyantap beribu aroma sahabat di udara … sambil membaca komik tentunya, hahaha …


Adinda sayang, maafkan aku yang hanya melukiskan kegembiraan dan tawa riang sang alam saja di lembaran ini. Walaupun sebenarnya ada beberapa momen yang sempat menjadi primadona di sini. Apakah itu rasa gelisah, rasa dendam, rasa kesal, mungkin semuanya lebur sudah. Hilang tertelan riuhnya tangan-tangan yang berebut, mencoba menangkap bola di kolam air. Hilang terikat liatnya pasir yang terbentuk oleh tangan-tangan kecil yang mencoba menangkap suasana di sekelilingnya. Hilang. Dan yang tersisa tinggal tawa.

Adinda sayang, sediakah kau kudefinisikan beberapa tawa dan senyuman yang belum sempat disebutkan di sini? Baiklah, bisa aku mulai? Hahahaha, tawa ini adalah tawa atas lembaran tulisan ini yang terlalu arogan untuk mencoba berpuitis kepadamu kekasihku. Ada pula tawa disana, yang ternyata menertawakan bon-bon minuman yang membuat kami mabuk laut di genangan harga yang seluaaangit, hahahaha ... sedangkan tawa yang di sampingnya lagi adalah tawa gelisah lidah-lidah kami yang harus merasakan hidangan rasa warung seafood pinggir jalan dengan ongkos rasa kafe-kafe ternama di kota-kota besar. Tapi yah, untung kau tidak turut serta sayang, kalau iya mungkin kau akan bersungut-sungut dan melimpahkan pembayarannya kepadaku. Tahukah kau ini akhir bulan, sayang??

Adinda, mungkin sekian dulu suratku ini. Bisikkanlah huruf-hurufnya dengan lembut nafasmu. Simpanlah kerang-kerang putih yang kubawakan dari laut untukmu. Jadikanlah mereka pendongeng kala tidur di malam-malammu. Dan mungkin lain waktu kau bisa kuajak melihat-lihat sekutip kenangan milikku dan sahabat-sahabatku. Sembari mengecek bentuk-bentuk pasir yang kemarin utuh. Sudahkah mereka hilang ditiup oleh angin laut, ataukah mereka masih saja liat dan menempati pantai tempat ku berbaring? Atau mungkinkah semua kenangan itu tinggal hanya untuk menjadi kenangan?


… dan aku akan tunggu simpul-simpul jawabanmu bersama buih-buih yang menghampiriku di bibir pantai ini.



Jakarta 2001