Sejuntai senyum dan tawa.
Adalah hidangan nikmat penutup hari.
Karena harumnya masih terbawa hingga pagi.
Walau kemarin tak kembali.
Kan esok jumpa lagi.
:)
Durensawit, 240110
- tidak puitis sama sekali -
cuma sekedar kumpulan catatan pujangga balita dan alakadarnya :)
Senin, Januari 24, 2011
Umpan
Umpan sudah terpampang menggoda.
Jaring sudah kuat dihela.
Tapi tangan yang memegang hanya dua.
Dan yang datang adalah paus raksasa.
Desember, 2010.
Jaring sudah kuat dihela.
Tapi tangan yang memegang hanya dua.
Dan yang datang adalah paus raksasa.
Desember, 2010.
Letusan
Selain Merapi, Bromo dan deretan gunung lain yang antri mau unjuk letus, ternyata kepala saya juga ikut ambil barisan.
Mendung bergelayut di kepala ketika sadar tidak ada yang maju atau mundur untuk menutupi cerita buruk tentang fasilitas orang banyak yang menganga dan menelan korban.
Turut berduka untuk korban gorong-gorong dan alpa nurani sang kota.
Desember, 2010.
Mendung bergelayut di kepala ketika sadar tidak ada yang maju atau mundur untuk menutupi cerita buruk tentang fasilitas orang banyak yang menganga dan menelan korban.
Turut berduka untuk korban gorong-gorong dan alpa nurani sang kota.
Desember, 2010.
2 Bulan Lalu di Usia November
"Semoga saya menjadi tua dengan teladan dan telinga. Tidak seperti mereka yang hingar bingar dengan telunjuk di lidahnya."
November 2010.
November 2010.
Selasa, Januari 18, 2011
Biarkan Edison Mencinta
orang itu bisik kepadaku
takut gagal matilah kau
orang itu mati lebih dulu
takut mati gagallah kau
Durensawit, 070509
takut gagal matilah kau
orang itu mati lebih dulu
takut mati gagallah kau
Durensawit, 070509
Silet?
Perih?
Mungkin perih melihatmu mengunyah silet dan mengeluarkannya jadi serpihan.
Aku lebih memilih mengunyah gumpalan ini untuk kemudian kujejer dan kubentuk menjadi tulisan seperti sekarang.
Perihmu lebih terlatih teman. Perihku juga tak kalah.
Namun salah, aku tak pernah belajar. Adaptasi.
Siletmu selalu serupa bentuk dan ukuran.
Yang kuserpihkan selalu berbeda dari waktu ke waktu.
Perih memang tidak pernah sama.
Coba lihat, lidahmu tak tergores sedikitpun.
Coba baca, lihat goresanku nyata terjamah.
Bisa pinjam silet dan lidahmu teman? Biar kutahu bahwa perihku masih tak terkalahkan,
iyakah?
Durensawit, 070509
Mungkin perih melihatmu mengunyah silet dan mengeluarkannya jadi serpihan.
Aku lebih memilih mengunyah gumpalan ini untuk kemudian kujejer dan kubentuk menjadi tulisan seperti sekarang.
Perihmu lebih terlatih teman. Perihku juga tak kalah.
Namun salah, aku tak pernah belajar. Adaptasi.
Siletmu selalu serupa bentuk dan ukuran.
Yang kuserpihkan selalu berbeda dari waktu ke waktu.
Perih memang tidak pernah sama.
Coba lihat, lidahmu tak tergores sedikitpun.
Coba baca, lihat goresanku nyata terjamah.
Bisa pinjam silet dan lidahmu teman? Biar kutahu bahwa perihku masih tak terkalahkan,
iyakah?
Durensawit, 070509
Jenuh Memalamkan Siang - Catatan September
seperti bermimpi semalam. terekam hingga siang.
poster besar nan indah. muslihat film layar lebar.
kumasuk untuk duduk dan menonton. ada seseorang yg kukenal di depan. menonton sendiri. tampak kedinginan.
dan aku kecewa dengan isi filmnya. tidak seperti poster besar yang menggoda.
lebih kecewa karena aku harus keluar dari pintu samping yang gelap dan kotor. sendiri.
menyisir debu jalan dan sunyi kota malam.
cuma teringat wajah pucat seseorang yang seperti meredam sesuatu. di depan sana.
hingga terbangun pun aku sesak.
perih itu keharusan. seperti memaksakan diri tapi itu perlu. sepertinya.
semua karena segumpal kalimat mendiamkan bibir yang telanjur membuka ingin tegur sapa.
sesederhana itu.
tapi terlalu kompleks untuk dicerna.
sekompleks jalan berdebu ini.
tapi aku membiasa. dan itu bahaya. karena kepala tak mau bermuram durja.
menyakiti diri saja. itu tak apa. daripada.
seperti terbangun barusan. jenuh memalamkan siang.
tapi aku kembali terpejam. melarutkan diam seakan malam.
kembali masuk dalam gelap dan aksi di layar.
kusambangi yang sedang terdiam merekat. lebih baik kuulang saja.
kubisikkan pelan cita-cita menjadi pembuat film besar tahun mendatang.
tidak hanya menjadi penonton masa yang berulang. kenapa tidak masuk saja ke dalamnya. aku bilang.
kita warnai saja gambarnya. kau biru aku merah. jadikan warna ungu sebagai padunya.
seperti judul film yang pernah bercerita itu. kan indah pada waktunya.
tapi di dalam hanya ada gulita. tak tahu senyummu mengembang atau mengambang.
kutahu hanya sodoran tanganku masih bergantung di hadapan.
menunggumu untuk lekas berdiri menyambut. keluar dari gelapnya film dengan poster besar memuakkan.
seperti berjalan kembali. menghidupkan dan menyambung mimpi seenak hati.
Durensawit, 140909
poster besar nan indah. muslihat film layar lebar.
kumasuk untuk duduk dan menonton. ada seseorang yg kukenal di depan. menonton sendiri. tampak kedinginan.
dan aku kecewa dengan isi filmnya. tidak seperti poster besar yang menggoda.
lebih kecewa karena aku harus keluar dari pintu samping yang gelap dan kotor. sendiri.
menyisir debu jalan dan sunyi kota malam.
cuma teringat wajah pucat seseorang yang seperti meredam sesuatu. di depan sana.
hingga terbangun pun aku sesak.
perih itu keharusan. seperti memaksakan diri tapi itu perlu. sepertinya.
semua karena segumpal kalimat mendiamkan bibir yang telanjur membuka ingin tegur sapa.
sesederhana itu.
tapi terlalu kompleks untuk dicerna.
sekompleks jalan berdebu ini.
tapi aku membiasa. dan itu bahaya. karena kepala tak mau bermuram durja.
menyakiti diri saja. itu tak apa. daripada.
seperti terbangun barusan. jenuh memalamkan siang.
tapi aku kembali terpejam. melarutkan diam seakan malam.
kembali masuk dalam gelap dan aksi di layar.
kusambangi yang sedang terdiam merekat. lebih baik kuulang saja.
kubisikkan pelan cita-cita menjadi pembuat film besar tahun mendatang.
tidak hanya menjadi penonton masa yang berulang. kenapa tidak masuk saja ke dalamnya. aku bilang.
kita warnai saja gambarnya. kau biru aku merah. jadikan warna ungu sebagai padunya.
seperti judul film yang pernah bercerita itu. kan indah pada waktunya.
tapi di dalam hanya ada gulita. tak tahu senyummu mengembang atau mengambang.
kutahu hanya sodoran tanganku masih bergantung di hadapan.
menunggumu untuk lekas berdiri menyambut. keluar dari gelapnya film dengan poster besar memuakkan.
seperti berjalan kembali. menghidupkan dan menyambung mimpi seenak hati.
Durensawit, 140909
Jumat Ini: Ego Sajadah
Sajadah. Hamparan kain/karpet seukuran badan manusia itu ternyata bisa jadi senjata ampuh buat dzalim mendzalimi tetangga shaf samping kanan kiri depan belakang di masjid. Ada yang tidak rela sajadahnya terhampar di bawah sajadah orang lain. Ada yang datang terlambat lalu membentangkan sajadah lebar lebar di tengah barisan memakan hak duduk orang lain. Ada yang menyukai desain sajadah besar besar memakan ruang membuat renggang jarak shalat. Ada yang meletakkan sajadahnya lebih mundur tidak sejajar shaf, membuat orang lain di belakangnya sampai sebegitu menekuk badan supaya bisa sujud alakadarnya. Dan lain lain yang memakan hak orang lain.
Lalu, bagaimanakah anda memperlakukan sajadah anda?
Verily, I will mislead them, and surely, I will arouse in them false desires; and certainly, I will order them to slit the ears of cattle, and indeed I will order them to change the nature created by Allah. And whoever takes Shaitan as a Wali (protector/helper) instead of Allah, has surely suffered a manifest loss.
(An Nisaa':119)
January 16, 2010
Lalu, bagaimanakah anda memperlakukan sajadah anda?
Verily, I will mislead them, and surely, I will arouse in them false desires; and certainly, I will order them to slit the ears of cattle, and indeed I will order them to change the nature created by Allah. And whoever takes Shaitan as a Wali (protector/helper) instead of Allah, has surely suffered a manifest loss.
(An Nisaa':119)
January 16, 2010
Tajuk Subuh
Subuh tadi berdesingan
kata haru dari pojok rahasia
sehalus lengang hari paling malam
dari tulis tangan pekat kerinduan
Aku terpojok
di gurau sengau sang gagak
entah dari langit mana dia datang
yang pasti cakarnya membekas di pundak
Aih Rabbana
Kau bukakan pintu pekerti
Kau leluasakan hijab misteri
kucumbui lafaz tuah senjata
Subuh tadi berdesingan
segerombol doa yang berpelintiran
semoga tepat sasaran
semoga tepat sasaran
280909
kata haru dari pojok rahasia
sehalus lengang hari paling malam
dari tulis tangan pekat kerinduan
Aku terpojok
di gurau sengau sang gagak
entah dari langit mana dia datang
yang pasti cakarnya membekas di pundak
Aih Rabbana
Kau bukakan pintu pekerti
Kau leluasakan hijab misteri
kucumbui lafaz tuah senjata
Subuh tadi berdesingan
segerombol doa yang berpelintiran
semoga tepat sasaran
semoga tepat sasaran
280909
Asmara Sahaya
asmara
marabahaya
hamba sahaya
saya tak kuasa
kuasa ilahiah esa
esa tunggal satu jiwa
jiwa bertanya hati merona
rona merah semu tak bernoda
noda perih ingin kau basuh luka
luka luka luka luka luka luka luka
lupa rupa sebelum tembang cinta
cinta cinta cinta cinta cinta cinta
basuh luka ingin terperih noda
bernoda semu tak merah rona
merona hati bertanya jiwa
jiwa tunggal satu esa
esa ilahiah kuasa
tak kuasakah saya
sahaya berhamba
marabahaya
asmara
durensawit 270909
marabahaya
hamba sahaya
saya tak kuasa
kuasa ilahiah esa
esa tunggal satu jiwa
jiwa bertanya hati merona
rona merah semu tak bernoda
noda perih ingin kau basuh luka
luka luka luka luka luka luka luka
lupa rupa sebelum tembang cinta
cinta cinta cinta cinta cinta cinta
basuh luka ingin terperih noda
bernoda semu tak merah rona
merona hati bertanya jiwa
jiwa tunggal satu esa
esa ilahiah kuasa
tak kuasakah saya
sahaya berhamba
marabahaya
asmara
durensawit 270909
Perjalanan
'duhai tuanku, mengapa melambat?'
hati hati di seberang
sergapan sembarang
tak bisa terbang
mati tanah tak berkalang
ini ramuan
untuk kau bersuara indah
setidaknya berbenah
merdu sebelum berdarah
'duhai tuanku, mengapa bersedekap?'
berjaga dari lara
jaga badan jangan mendoyong
juga kuasa
biar mereka merongrong
ini bacaan
untuk kau berkaca
setidaknya berilmu
sebelum mati kaku
'duhai tuanku, mengapa melompat?'
lihat taringnya
tajam dan bersinar
bukan menghindar
biar mereka membuka cadar
ini sulapan
membuat gesit tipu meripat
bukan tergesa
tapi ketegasan mencari tepat
'duhai tuanku, mengapa bersedekah?'
mencari keridhaan
dari yang punya maha
supaya lancar ibadah
supaya cinta tak bernanah
ini doanya
beri kemudahan
beri keikhlasan
beri niatan
'duhai tuanku, semoga diperkenankan'.
durensawit 27090
hati hati di seberang
sergapan sembarang
tak bisa terbang
mati tanah tak berkalang
ini ramuan
untuk kau bersuara indah
setidaknya berbenah
merdu sebelum berdarah
'duhai tuanku, mengapa bersedekap?'
berjaga dari lara
jaga badan jangan mendoyong
juga kuasa
biar mereka merongrong
ini bacaan
untuk kau berkaca
setidaknya berilmu
sebelum mati kaku
'duhai tuanku, mengapa melompat?'
lihat taringnya
tajam dan bersinar
bukan menghindar
biar mereka membuka cadar
ini sulapan
membuat gesit tipu meripat
bukan tergesa
tapi ketegasan mencari tepat
'duhai tuanku, mengapa bersedekah?'
mencari keridhaan
dari yang punya maha
supaya lancar ibadah
supaya cinta tak bernanah
ini doanya
beri kemudahan
beri keikhlasan
beri niatan
'duhai tuanku, semoga diperkenankan'.
durensawit 27090
Ikra sudah mencium
Ikra. begitu panggilmu.
ingin kubaca dirimu. seperti kumantra namamu.
kau sama tinggi denganku.
walau kau berpegangan sayap merpati.
jinjit tinggi tinggi tertiup candamu sendiri.
melongok di kuntum rembulan. di balik lembaran malam.
aku pun duduk di sampingmu. menghempas nafas iring berlagu. kirim hujan seduh hangatmu.
gelontorkan badan. meringkas laju liar kuda yang melambat.
semoga belum terlambat.
Ikra sudah mencium. Pastilah itu.
dan pangeranmu sekilas termangu. kuda putihnya terhela entah dimana.
dia yang biasanya jumputi tidurmu. dan kudanya kusembunyikan.
kusumpal mulutnya hingga habis kata. yang semilir hanya aroma.
nada pinta untuk semasa. semasa pinta untuk senada.
bukan dari kuda liar yang meretak dada.
tapi dari berbait berkata;
raja mulia.
Ikra sudah mencium. Pastilah itu.
0709
ingin kubaca dirimu. seperti kumantra namamu.
kau sama tinggi denganku.
walau kau berpegangan sayap merpati.
jinjit tinggi tinggi tertiup candamu sendiri.
melongok di kuntum rembulan. di balik lembaran malam.
aku pun duduk di sampingmu. menghempas nafas iring berlagu. kirim hujan seduh hangatmu.
gelontorkan badan. meringkas laju liar kuda yang melambat.
semoga belum terlambat.
Ikra sudah mencium. Pastilah itu.
dan pangeranmu sekilas termangu. kuda putihnya terhela entah dimana.
dia yang biasanya jumputi tidurmu. dan kudanya kusembunyikan.
kusumpal mulutnya hingga habis kata. yang semilir hanya aroma.
nada pinta untuk semasa. semasa pinta untuk senada.
bukan dari kuda liar yang meretak dada.
tapi dari berbait berkata;
raja mulia.
Ikra sudah mencium. Pastilah itu.
0709
bandang!
itu banjir besar. megah. gagah. perangah.
mungkin bisa mencuci kaki kaki yang noda.
atau membuat caci maki sesemutan di ujung lidah.
idenya sih bisa sesederhana bencana atau malah anugrah.
seperti tergelayut lengan halusnya.
apakah berkah. apakah amarah. atau malah terpanah?
atau membuat rekah yang tak hentinya membuat indah.
maunya sih tak sesulit jembatan timbang di atas kawah.
seperti berada di depan antrian.
bukan menghadap ke depan melainkan ke kawanan.
semua merangsek memenuhi ragamu dan keluar bergerombolan.
mengiyakan lajur jalan yang berlawanan.
itu banjir besar, kawan. coba taklukkan.
290709 1:11
mungkin bisa mencuci kaki kaki yang noda.
atau membuat caci maki sesemutan di ujung lidah.
idenya sih bisa sesederhana bencana atau malah anugrah.
seperti tergelayut lengan halusnya.
apakah berkah. apakah amarah. atau malah terpanah?
atau membuat rekah yang tak hentinya membuat indah.
maunya sih tak sesulit jembatan timbang di atas kawah.
seperti berada di depan antrian.
bukan menghadap ke depan melainkan ke kawanan.
semua merangsek memenuhi ragamu dan keluar bergerombolan.
mengiyakan lajur jalan yang berlawanan.
itu banjir besar, kawan. coba taklukkan.
290709 1:11
Hujan, Aku Bosan
Huh,
Seperti sebut tempat berlindung
Seperti gembok, kurung, dan indung
Seperti kabut yang menyelubung
Seperti terpojok di relung
Kamu berhias topan
Aku berteman hujan
.
Durensawit, 180111
Seperti sebut tempat berlindung
Seperti gembok, kurung, dan indung
Seperti kabut yang menyelubung
Seperti terpojok di relung
Kamu berhias topan
Aku berteman hujan
.
Durensawit, 180111
Rabu, Desember 17, 2008
Pffft !
Pffffffft!
gadis kecil menjulurkan lidahnya
untuk perjaka yang bergelung di awan
menghalangi layang layang katanya
tak bisakah minggir sejenak?
mengganggu mainku saja
280909
gadis kecil menjulurkan lidahnya
untuk perjaka yang bergelung di awan
menghalangi layang layang katanya
tak bisakah minggir sejenak?
mengganggu mainku saja
280909
Sabtu, Desember 13, 2008
Bunga Rumput Liar
Wah.
Entah mengapa aku selalu merasa balita
Tapi selalu punya waktu berlebih untuk ikut berpujangga
Atau serta merta menjadi dewasa
Dan terdorong berkata-kata
Hanya karena serangkai nama liar seorang teman.
Ah,
Kawanku Syam agaknya jauh lebih dari beruntung
Mempunyai dua kebun riang yang bertebar tawa siang malam
Satu di Ci-apalah itu dan keduanya di bunga rumput liar bergulung
Menyelimuti dengan kasih jadikan pria paling beruntung
Semua karena bertangkai bunga yang merumputi hidupnya.
Yah.
Buatku mungkin tinggal mengais akar
Ingatan akan hadirnya kawan berbunga
Yang sekali dua memberiku keajaiban
Berkenalan dengan taman bermainnya
Bersahut-sahutan dengan senyawanya
Berkesempatan mengenal nama liarnya
Seperti tak lekang habis bersapa, karena ada senyawamu Syam di ujung sana
(Selamat Jalan Ria-BuRuLi, kebanggaanku melangit berkesempatan mengenal dua senyawa Ria dan Syam. Yang satu sebagai kebun tempat bermain. Yang lain adalah tukang kebun yang selalu bercerita tentang kesibukannya memegang selang menyirami buah tangan di atas bukit.)
Duren Sawit, 131208
Entah mengapa aku selalu merasa balita
Tapi selalu punya waktu berlebih untuk ikut berpujangga
Atau serta merta menjadi dewasa
Dan terdorong berkata-kata
Hanya karena serangkai nama liar seorang teman.
Ah,
Kawanku Syam agaknya jauh lebih dari beruntung
Mempunyai dua kebun riang yang bertebar tawa siang malam
Satu di Ci-apalah itu dan keduanya di bunga rumput liar bergulung
Menyelimuti dengan kasih jadikan pria paling beruntung
Semua karena bertangkai bunga yang merumputi hidupnya.
Yah.
Buatku mungkin tinggal mengais akar
Ingatan akan hadirnya kawan berbunga
Yang sekali dua memberiku keajaiban
Berkenalan dengan taman bermainnya
Bersahut-sahutan dengan senyawanya
Berkesempatan mengenal nama liarnya
Seperti tak lekang habis bersapa, karena ada senyawamu Syam di ujung sana
(Selamat Jalan Ria-BuRuLi, kebanggaanku melangit berkesempatan mengenal dua senyawa Ria dan Syam. Yang satu sebagai kebun tempat bermain. Yang lain adalah tukang kebun yang selalu bercerita tentang kesibukannya memegang selang menyirami buah tangan di atas bukit.)
Duren Sawit, 131208
Kamis, Desember 11, 2008
Kara
Kara.
Entah kapan kau lahir ke dunia
Yang sumuk hiruk pikuk dengan muka tertekuk
Tapi bayi mana yang tak menangis bertemu cahaya
Meninggalkan sapihan ibu yang menghangat raga
Kara,
Hanya karena itukah kau disebut sebatang?
Tak tahu apa artinya, dulu mungkin pernah sua
Walau kau termenung kau terlihat menghilang
Mungkin menunggu sampai terasa matang
Kara!
Hendak apa kau bergantung di kepala?
Tanganmu belum cukup kuat untuk menakut-nakutiku
Mengancam untuk menjatuhi dengan deras
Mengancam mencakariku dengan gores
Mengancam untuk menyayat jantung dengan iris
Sampai berhasil bersatu dengan alpaku tak terputus arus
Dan makin aku tirus,
Mungkin karena tertimpa batang besarmu yang bergantung sejak malam tadi
Duren Sawit, 121108
Entah kapan kau lahir ke dunia
Yang sumuk hiruk pikuk dengan muka tertekuk
Tapi bayi mana yang tak menangis bertemu cahaya
Meninggalkan sapihan ibu yang menghangat raga
Kara,
Hanya karena itukah kau disebut sebatang?
Tak tahu apa artinya, dulu mungkin pernah sua
Walau kau termenung kau terlihat menghilang
Mungkin menunggu sampai terasa matang
Kara!
Hendak apa kau bergantung di kepala?
Tanganmu belum cukup kuat untuk menakut-nakutiku
Mengancam untuk menjatuhi dengan deras
Mengancam mencakariku dengan gores
Mengancam untuk menyayat jantung dengan iris
Sampai berhasil bersatu dengan alpaku tak terputus arus
Dan makin aku tirus,
Mungkin karena tertimpa batang besarmu yang bergantung sejak malam tadi
Duren Sawit, 121108
Lara
Lara,
Semisal ia adalah nama seorang jelita, pastilah ia tergelak
Dengar bisik menggelitik ataupun umbar tawa yang raya
Pastilah ia tergelak, melihat pantulan terbalik cermin bersepuh perak
Ada senyum, melambai tak jauh dari sini, menertawakan pemilik wajah di seberangnya
Lara,
Semisal ia adalah nama seorang biduan, pastilah ia kilauan
Lihat kerlingan yang menatap ataupun belukar berlian di sudut mata
Pastilah ia kilauan, mendengar nyanyian gembira tentang hidup yang merona
Ada gempita, kumandangkan merdu, mengejek pemilik telinga di seberangnya
Lara Oh Lara,
Hentikan omong kosong tetabuhan bebunyian tentang sekarung madu
Lihat dirimu penuh luka keriput menahun nan sukar bedakan suka nestapa
Basmilah dengan basmalah, hapus sedu sedan yang melarut dalam diam
Ada gempita, berbukit senyum, merdu merayu bila kau pecahkan cermin perak yang berderak
Basmilah dengan basmalah, temukan jelita dalam buruk rupa dunia
Duren Sawit, 111208
Semisal ia adalah nama seorang jelita, pastilah ia tergelak
Dengar bisik menggelitik ataupun umbar tawa yang raya
Pastilah ia tergelak, melihat pantulan terbalik cermin bersepuh perak
Ada senyum, melambai tak jauh dari sini, menertawakan pemilik wajah di seberangnya
Lara,
Semisal ia adalah nama seorang biduan, pastilah ia kilauan
Lihat kerlingan yang menatap ataupun belukar berlian di sudut mata
Pastilah ia kilauan, mendengar nyanyian gembira tentang hidup yang merona
Ada gempita, kumandangkan merdu, mengejek pemilik telinga di seberangnya
Lara Oh Lara,
Hentikan omong kosong tetabuhan bebunyian tentang sekarung madu
Lihat dirimu penuh luka keriput menahun nan sukar bedakan suka nestapa
Basmilah dengan basmalah, hapus sedu sedan yang melarut dalam diam
Ada gempita, berbukit senyum, merdu merayu bila kau pecahkan cermin perak yang berderak
Basmilah dengan basmalah, temukan jelita dalam buruk rupa dunia
Duren Sawit, 111208
Bara!
Bara!
Berhimpun berdesakan ingin tahu seperti apa sang rupawan
Daun ranting bahkan eskalator bergerak melambat
Untuknya,
Untukmu,
Sehingga hujan pun terhenyak seperti tirai beku mengudara
Maka sergaplah rasa ingin tahu sebentuk berlian berliku
Ampun, sampai terlupa waktu bertemu sang Empunya waktu
Untukmu,
Bukan Dia,
Sehingga restu mungkin belum mau mampir sekedar bertamu
Bara!
Hingga kemunculanmu dan berjuta senyum yang nyatanya
Membubung beterbangan untuk meramaikan ladang rindu ramai
Untuknya,
Bukan aku,
Sampai kembali berjatuhan membakar melubangi lumbung sunyi dingin dan kelu
Bara!
Tinggal aku dan telapak melepuh
Tak mampu membeban rimbun beribu peluh
Duren Sawit, 111208
Berhimpun berdesakan ingin tahu seperti apa sang rupawan
Daun ranting bahkan eskalator bergerak melambat
Untuknya,
Untukmu,
Sehingga hujan pun terhenyak seperti tirai beku mengudara
Maka sergaplah rasa ingin tahu sebentuk berlian berliku
Ampun, sampai terlupa waktu bertemu sang Empunya waktu
Untukmu,
Bukan Dia,
Sehingga restu mungkin belum mau mampir sekedar bertamu
Bara!
Hingga kemunculanmu dan berjuta senyum yang nyatanya
Membubung beterbangan untuk meramaikan ladang rindu ramai
Untuknya,
Bukan aku,
Sampai kembali berjatuhan membakar melubangi lumbung sunyi dingin dan kelu
Bara!
Tinggal aku dan telapak melepuh
Tak mampu membeban rimbun beribu peluh
Duren Sawit, 111208
Kamis, Desember 04, 2008
Lenyap
Dimana wajahmu kau hadap?
Putih terjejal bedak dan kilap
Ketika kelu kata terucap
Yang terhampar hanya silap
Dimana hatimu kau benam?
Hitam tersengal kalut dan rajam
Ketika keluh rasa terpendam
Yang terpapar hanya dendam
Hadap mengkilap ucapkan silap
Hingga benam rajam pendam dendam
Ketika lenyap langkah i'tikaf
Dimana imanmu mualaf?
Duren Sawit, 041208
Putih terjejal bedak dan kilap
Ketika kelu kata terucap
Yang terhampar hanya silap
Dimana hatimu kau benam?
Hitam tersengal kalut dan rajam
Ketika keluh rasa terpendam
Yang terpapar hanya dendam
Hadap mengkilap ucapkan silap
Hingga benam rajam pendam dendam
Ketika lenyap langkah i'tikaf
Dimana imanmu mualaf?
Duren Sawit, 041208
Selasa, November 11, 2008
Pilu
Beberapa hari lagi
Dan aku merambat naik
Juga menggelung turun
Seperti hari yang lalu
Selalu pilu bertalu
Membuat ngilu benak benalu
Ditambah hari ini
Ada namamu, cerah itu, dan debur yang itu
Mengapa selalu kelu dendangkan lagu?
Duren Sawit, 101108
Dan aku merambat naik
Juga menggelung turun
Seperti hari yang lalu
Selalu pilu bertalu
Membuat ngilu benak benalu
Ditambah hari ini
Ada namamu, cerah itu, dan debur yang itu
Mengapa selalu kelu dendangkan lagu?
Duren Sawit, 101108
Langganan:
Postingan (Atom)