Jumat, Januari 20, 2006
pasca hujan.
... bilang ia, ‘sudah reda’
cuma tergenang bergoyang
ditiupan angin
dua kupu kecil kuning;
mungkinkah mereka sejoli?
menghampiri bebungaan
selami angin
bersama kaki kaki kecil
anak desa dan mainan
menantang tersapu siang
riak kecil pun menghilang
sudah reda memang
ah, segarnya!
Jatinangor 1998
jauh.
aku ini jauh. aku ini jarak.
di dalamku ada senggang, kosong,
dan rindu
aku terlanjur. aku membiasa.
di kelilingku ada wasangka, cemooh,
dan harapan
aku terlanjur. aku membiar.
lihat di kejauhan.
itulah aku.
Jatinangor 1998
jorok.
bantal-bantal geliat
irama-irama bantal
lenguh-lenguh irama
sprei-sprei lenguh
percik-percik sprei
menit-menit basah
kulit-kulit menit
geliat-geliat kulit
lengket-lengket keringat
jorok!
Jatinangor 1998
matahari matahari dan bulan bulan.
mendekap melindungi sekutu-sekutu kecilnya
‘semoga aku punya terbitmu untuk menerangi’
seperti bulan aku pun ingin,
mendekap mengayomi malam
dari buruknya kegelapan
‘semoga aku punya purnamamu untuk menerangi’
seperti matahari-matahari
bagaikan bulan-bulan
seperti dan bagaikan
matahari matahari dan bulan bulan
Jatinangor 1998
amuk.
mendesak menyekat tenggorokan
mengikat lidah gelayut hati tertekuk
sudah putus
pupus
mulai menggelembung ingin pecah
menggumpal, ingin menghambur
mengikat hati merajam otak terperah
tersumbat pepat
tercipta lepat
LIHAT ITU! LIHAT ITU!
Amukku pun muntah perlahan-lahan
Lihat saudaraku berguguran akalnya
Hoek!
Jatinangor, Mei 1998
jatuh.
(belum ashar...)
ingin dahului semua!
(..terus kebut!)
80 km/jam
(terus kebut!..)
ikuti mobil itu!
(cepat!)
... berapa sih kecepatanku? ...
aku dibelakang
Tidak.
Ada lubang besar.
Tidak.
Ingin kukendalikan.
Tidak.
Jatuh.
Jatinangor 1998
sepi.
Ah, aku terlalu takut untuk berbicara, menelurkan sebutir kata, apapun itu ... wah, tidak. Aku takut akan sepi.
Dia jahat. Lebih jahat dari keramaian.
Dan daripada berbait-bait mencari tahu apa sepi itu, mungkin lebih baik aku coba hembuskan nafas keras-keras. Agar aku tahu aku tidak sendiri. Tidak merasa sunyi.
Sepi.
Jatinangor 1997
Dari ‘Tiga momen enam belas juni sembilan tujuh’
Anyer, 26 April 2001.
Adindaku sayang, aku sudah tiba di sini. Mungkin kau tak kan percaya dengan apa yang kulihat saat ini. Tapi aku benar-benar berada di sini. Kau tahu aku dimana? Ah, aku lupa ... bukankah aku sudah menuliskannya di langit-langit suratku ini? Dan kau pun pasti tidak sebodoh aku yang selalu melewatkan momen-momen kecil seperti hari, atau tanggal yang tertera setiap lembaran surat bagaikan sarang laba-laba yang selalu bergantung di atas meja tulisku.
Lalu? Bagaimana Dinda? Sudahkah kini kau percaya? Dari helaan ringan nafasmu yang (tentunya) memaklumi basa-basiku di atas pastilah kau sudah nyana tempat apa yang kumaksud dengan ke’tiba’anku kini.
Aku di bibir pantai, sayang …
Maafkan aku yang terlalu sok puitis menempatkan kalimat tersebut dengan makna italik yang landai.
... mungkin selandai kaki-kaki kecilku yang diam-diam menari bersama pasir putih
“Hahahahehe...”. Wah, bahkan lembaran ini menertawakan kepujanggaanku yang masih berusia balita. Dan kau pasti kini sedang tersenyum. Terima kasih sayang, sebingkai senyum sangatlah berharga bagiku. Jadi, itukah tandanya aku boleh meneruskan apa yang baru saja kumulai?
Adinda, ingatkah kau ketika kau mengira bahwa perjalanan ini tak kan dapat terwujud? Ternyata engkau keliru sayang, aku pun juga mungkin dulu berprasangka sama sepertimu, tapi tidak. Tidak begitu. Kusaksikan sendiri adanya tangan-tangan lain yang mendorong perahu kami sampai melabuhkan diri di sini. Tangan-tangan sahabat. Dan inilah pasir, inilah matahari, inilah asin laut, inilah kami, dengan tangan-tangan kecil kami yang jelmaannya mampu menghangatkan malam dengan nyanyian-nyanyian, mempermalukan api unggun yang keburu menyembunyikan dirinya di hangatnya pasir putih pantai ini.
Adindaku sayang, mungkin kini kau menyesali ketiadaanmu di sini, di sampingku. Tapi kuharap engkau terhibur dengan huruf-huruf yang kulayangkan kepadamu ini. Biarkan mereka mendendangkan dawai-dawai cahaya pagi yang membangunkan tidur kami di bawah buaian pohon kelapa. Walaupun sebenarnya aku sendiri was was dan khawatir bilakah nanti salah satu buahnya nekat menjatuhkan dirinya ke kepalaku yang sedang tertidur pulas?
…dengarlah betapa gagahnya ombak yang mendebur karang di pucuk-pucuk horison pandanganmu yang perlahan mulai mengatup dan tertidur …
Adinda, selintas aku pun merasa takut jua. Dan merasa kecil. Lebih kecil dari sel-sel kulitku yang terkadang membesar mengharapkan hangatnya bersentuhan dengan mentari di dinginnya malam. Pernahkah kau duduk di kanal-kanal, bertemankan gelap, debur ombak, dan gelegar kilat yang sibuk mencoretkan sketsanya di atas kepala-kepala kami? Di dinding-dinding angkasa yang menamakan dirinya; malam? Di sanalah aku merasa menyapa dirinya. Diriku yang kecil itu terlihat menggapai-gapai mengharapkan senyuman. Dan seketika itu pulalah aku bisa menghadirkan dirimu yang jauh ini di hadapanku, tersenyum. Bersama dengan semua yang ada di sini. Semua. Tersenyum kepadaku. Apakah kau tahu betapa indahnya saat-saat seperti itu? Saat-saat dimana engkau tahu bahwa engkau tidaklah sendiri. Ada jiwa-jiwa lain yang aku tahu mereka pun merasakan ketakutan yang sama sepertiku. Tapi semua ketakutan itu pun turut hilang bersama dengan redupnya gemuruh petir yang sayup terdengar di kejauhan.
…aku kini berdiri di kanal merengkuh semua jiwa yang tersenyum …
Adinda sayang, malam pun lewat sudah, fajar telah mengetuk mataku. Aku terbangun. Sejenak kuhirup wangi tubuhmu di kejauhan. Dan kuhampiri horison sekali lagi untuk menanyakan kepada mentari tentang kebodohanku. “...kutunggu engkau kemarin untuk terbenam-mu, akankah kini kau tampakkan terbit-mu? Mmm … kuharap jangan dulu. Hari ini bukan akhir dunia, bukan?”, pikirku polos. Dan seketika itu pula aku tertawakan kesadaranku yang belum utuh benar kukumpulkan dari ujung-ujung akar kelapa yang bergantungan di pohon kelapa, tempat ku dibuai semalam.
Adinda, pagiku ditemani dengan suara tawa, selembar tikar, komik jepang, dan tubuhku yang berbaring santai di bawah bayang nyiur. Aku lihat sahabat bercengkerama dengan ombak, ada yang baru pendekatan, ada yang masih malu-malu, walau tidak sedikit pula yang sudah kenal lebih dekat dan lebih intim. Mereka semua tertawa. Adinda, pernahkah kau hirup harumnya suara-suara canda sahabat? Berbaur dengan percikan laut yang diam-diam secara nakal membasahi tubuh-tubuh riang yang berlarian?
…dan aku terbaring kekenyangan, menyantap beribu aroma sahabat di udara … sambil membaca komik tentunya, hahaha …
Adinda sayang, maafkan aku yang hanya melukiskan kegembiraan dan tawa riang sang alam saja di lembaran ini. Walaupun sebenarnya ada beberapa momen yang sempat menjadi primadona di sini. Apakah itu rasa gelisah, rasa dendam, rasa kesal, mungkin semuanya lebur sudah. Hilang tertelan riuhnya tangan-tangan yang berebut, mencoba menangkap bola di kolam air. Hilang terikat liatnya pasir yang terbentuk oleh tangan-tangan kecil yang mencoba menangkap suasana di sekelilingnya. Hilang. Dan yang tersisa tinggal tawa.
Adinda sayang, sediakah kau kudefinisikan beberapa tawa dan senyuman yang belum sempat disebutkan di sini? Baiklah, bisa aku mulai? Hahahaha, tawa ini adalah tawa atas lembaran tulisan ini yang terlalu arogan untuk mencoba berpuitis kepadamu kekasihku. Ada pula tawa disana, yang ternyata menertawakan bon-bon minuman yang membuat kami mabuk laut di genangan harga yang seluaaangit, hahahaha ... sedangkan tawa yang di sampingnya lagi adalah tawa gelisah lidah-lidah kami yang harus merasakan hidangan rasa warung seafood pinggir jalan dengan ongkos rasa kafe-kafe ternama di kota-kota besar. Tapi yah, untung kau tidak turut serta sayang, kalau iya mungkin kau akan bersungut-sungut dan melimpahkan pembayarannya kepadaku. Tahukah kau ini akhir bulan, sayang??
Adinda, mungkin sekian dulu suratku ini. Bisikkanlah huruf-hurufnya dengan lembut nafasmu. Simpanlah kerang-kerang putih yang kubawakan dari laut untukmu. Jadikanlah mereka pendongeng kala tidur di malam-malammu. Dan mungkin lain waktu kau bisa kuajak melihat-lihat sekutip kenangan milikku dan sahabat-sahabatku. Sembari mengecek bentuk-bentuk pasir yang kemarin utuh. Sudahkah mereka hilang ditiup oleh angin laut, ataukah mereka masih saja liat dan menempati pantai tempat ku berbaring? Atau mungkinkah semua kenangan itu tinggal hanya untuk menjadi kenangan?
… dan aku akan tunggu simpul-simpul jawabanmu bersama buih-buih yang menghampiriku di bibir pantai ini.
Jakarta 2001
abi ummi.
Berkelana berusaha bertautan
Betapa dangkal waktu untukku kini;
Sesaat tadi aku kembali. Kekal.
Sejenak tadi aku selami
Masa ku berpautkan keduanya
Mencoba raih lengan penuh peluh;
Sejenak tadi aku tenggelam. Damai.
Sekuat apakah engkau?
Wahai hamba-hamba penggenggam amanat Kuasa?
Wahai pemelihara penyapih sembilan bulanku?
Setangguh karangkah engkau?
Sesaat tadi aku terdampar
Berkecamuk tanya liar di hutanku
Berkaca pada semua tanya;
Saat kutemukan sejengkal kata
Terimakasihku untuk kasih sayangmu.
Jakarta 2001
sepi menggelayut.
Beribu mil rindu terburai di tanah
Berjuta sel cinta terkuak bernanah
Aku terkoyak. Aku mati.
Aku tergerai. Aku mati.
Tidakkah ku merasa senang?
Tidak bolehkah ku undang tanya?
Aku tergolek. Aku mati.
Aku terbakar. Aku mati.
Sesakku didekap tercekik cinta
Sopankah ku lontarkan harap?
Aku dan sepi. menggelayut.
Jakarta 2001
hanya bertanya.
Mungkin sudah berjuta cinta kukutip
Dan berjuta rindu kutitip
Tapi, adakah pendengar seumpama bisikan?
Rambutku memutih dan berceraian
Mungkin sudah beribu kali kucari definisi
Dan beribu lagi kulukis arti
Tapi, adakah kau selayak imaji?
Pinggangku mengecil dan terbiarkan
Mungkin sudah bermiliar sel kusumbangkan
Mungkin bermiliar lagi kukorbankan
Tapi, adakah terjawab semua pinta?
Dadaku mengempis dan terguncang
Mungkin sudah habis rusuk kucabut
Mungkin sudah tercipta semua cinta untukku
Tapi, adakah tercipta untukku suatu dirimu?
Jakarta 2001
aku anak jalanan.
mengecil kakiku terhisap raksasa kala
bengkak genggamku memayungi sang budak
hitamkan jasadku tahta peluh keringat
membakar rambutku percik bintang api
urat lenganku beradu darah daging
panas lidahku membisik dan menyeru
lirih mataku mengerling sejauh cita
serak suaraku nyaringkan ramai
definisikan aku kerikil dan debu
nafaskan aku satu kalimat rapalan,
AKU, anak jalanan.
Jakarta 2001
sahabat.
Biar tumbuh, mekar, berkembang, dan berbuah.
Sampai akhirnya berulat, busuk, dan mati. Rata.
Dan biarkan menggelembung urat-urat di bumi, menggunung, dan letupkan benih-benih yang pulas tertidur di ayoman ibunda. Karena suatu saat nanti ia akan menyulurkan sungut-sungut dari jemarinya, membelah lahar kesunyian yang makin mendinginkan tengkuk. Menghirup segala zat hidup yang memberinya damai.
Dan biarkan terus hidup. Menggapai permukaan bumi dan angkasa-angkasa. Menyeruak dari gelap tanah dan tajam kerikil-kerikil. Hembuskan kesegaran di atasnya. Biarkan tumbuh, mekar, berkembang, dan berbuah.
Lagi.
Seumpama sahabat-sahabat; Yang terus hadirkan mekar dan segar di setiap percik udara yang terhirup di pinggir sungai beriak ini. Seumpama sahabat-sahabat. Yang tiada pernah lelah meniadakan ketiadaan, dan menyederhanakan segala rumusan dunia senantiasa terngiang di pojok marjinal setiap kesejatian. Dan dengar semilir pohon bijak itu tentang sahabat;
Jangan harapkan sahabat terbaik untuk hidupmu, tapi jadikan dirimu sebagai yang terbaik bagi semua sahabat sejatimu.
Bandung 2001
pandir.
tarik ulur senyum kulayangkan masih
laksana hipokrit mesum tertatih
menertawakan kesendiriannya
di padang badai
mungkin itulah gemuruh
mendamba semaktub oase
di sengatan hujan rinduan
laksana capitan kala
di ujung-ujung pakaian
menarik paksa tutup sgala luka busuk
—
nista
matikah aku??
dimana sang nada tak lagi bernyanyi
dimana sang penyair hilang lidah dan penanya
;dimanakah aku??
di tengah kebinasaanku yang menghinakan
senyap terdengar panggilan; SUCIKAN!
selakon pandir lapar,
roti di genggaman
;bahkan Tuhan memaafkan setiap yang berdetak.
Bandung 2002
kotaku tenggelam.
dan orang masih berlarian ke sisi sisi sang kapitalis;
beraihan ulur setiap jengkal
dan anak masih berlarian di sisi sisi mobil yang berbaris;
bernyanyian menatap buram setiap kekal
--berlarian dihantui ancaman
kotaku tenggelam.
dan setiap tangan lemparkan tissue di trotoar;
bersedekapan ngusir bau jalanan
dan setiap jemari lontarkan puntung berkobar-kobar;
berhembus-hembus awan kematian
--menertawakan kekalahan mereka
kotaku tenggelam.
dan adakah ancaman terhadap ‘Ad dan Tsamud kembali terulang?;
...
dan adakah khianat para berhala kembali berulang?;
... !
dan adakah Tuhan tersenyum lagi untuk kita?
kotaku tenggelam.
Bandung 2002
bukan sesuatu yang berurutan.
tiang tiang penghias padat hidup manusia
dua dua aku kelompokkan
dalam muasal dan sifat simetrikal dunia
tiga tiga aku mencari
beratus denyut dalam tiap maghribku
empat empat aku gambarkan
segala fathonah dalam alir darah
lima lima aku uraikan
iman
dan iman
dan iman
dan iman
dan iman
;Ampuni aku Tuhan.
Bandung 2002
hijau.
buih hijau daun bertumpangan bertindihan
parut luka rajahi sekujur
titian ngengat ratu dan rajanya
berteduh di rimbunnya usapan
bukan indah bila tiada keteduhan kehangatan
tari ngengat ratu dan rajanya
titian parut dan luka di kujurnya
bukan kebiadaban meruyak hening
sendu nyanyi kelopak tersirat terpikat
jerit carut berdarah dan mengaing
buyarkan upacara ratu dan rajanya
--lalu si kaki dua itu datang--
;
keteduhan tiada melukiskan ranum-ranum buah
keademan tiada menghanyutkan perahu-perahu karun
kenyamanan tiada menghantarkan tandu-tandu kelana
kehijauan tiada membuka mata-mata;
... setiap kita
Bandung 2002
senandung.
seorang kawan bersenandung
dalam siulan anyamkan keluh-rindu-dendam
;tapi semua terasa indah
kusiangi sealun perih terkias
bantu bersihkan serak suara khas
mungkin bila aku sembunyikan mereka di bawah dudukku?
selayak raja membisu-pasi
gundah berharap sungging si empunya harum
;dan semua terasa indah
kusiangi malam bila terulas
kutepuki pundakmu terus senandung
nyanyikanlah alunan lagi malam melepas
dan ijinkan aku, rajuti lagi siulanmu
yang terbiar membubung.
Bandung 2002
gelap.
berkeringat berpeluh ku meringis
setubuhi helai demi helai sepi
merangkak melata kuatkan kaki-kaki
sgala sudut kamar cengkeram mengais
setubuhi diriku tak kunjung berdiri
“nyalakan saja lampumu bila takut gelap!”
Bandung 2002
lima waktu.
katamu kau rindu cumbu rayu
apa harap tiba dari kelokan jalan itu?
katamu kau ingin harapkan asa
bila tiba dari ujung jalan itu?
cumbui pijar dan rona subuhmu
gandeng tangan-tangan ria di taman dzuhurmu
jangan lupa merajuk rayu di alas ashar
dan bila cinta kerap membubung di kepala;
bagaimana?
coba petik lagu-lagu senja di pintu maghrib
dan kutip malam di telapak isya’
hingga esok kita sua lagi.
Bandung 2002
Sesungguhnya ku belum.
yang kutebarkan surat-surat di kelopak bacamu
yang kupesonakan kata-kata di garis alismu
yang kutorehkan nada-nada di cuping telingamu
yang kubisikkan ragu-ragu di gerlap malammu
yang kuketukkan pintu-pintu di rintik hujanmu
yang kusematkan senyum-senyum di malu wajahmu
yang kuimpikan dalam-dalam di kemilau bayangmu
yang kugetarkan keras-keras di harum rindumu
yang kusindirkan diam-diam di banyak sajakku
sesungguhnya ku belum kenal benar dirimu
sesungguhnya ku belum kenal benar dirimu
sesungguhnya ku belum kenal benar dirimu
sesungguhnya
;
Bandung 2002
bidodari.
bulunya benih bagi peladang di bukit sana
dipupuk, dipaneni berbulan lagi
untuk ditanak dilahap bocah ranum
daun sirih gugur satu-satu
sayapnya bibit bagi nenek di beranda
dicuci, disulap berhari lagi
untuk dikunyah dilepeh nasihat harum
slendang bidodari beterbangan satu-satu
kainnya sutra lapis kelambu para perjaka
dijahit, dibebat berlipat lagi
ditambal dan dilapis berkali lagi
untuk sang kekasih ranum nan harum
untuk sang kekasih harum nan ranum
untuk sang kekasih;
bidodari bersayap sirih daun merpati
Bandung 2002
kangen 1.
Terkelupas dan meretas
Rindu cinta basahi kecup
Gelayuti dahi mata benakku
Anyaman bayang-bayang
Bersulam waktu merindu
Lalu seketika tepuki pundakku,
‘Tiada waktu tanpamu’.
Bandung 2003
puisi 1.
Hiasi rona kembang semekar wajahmu
Rekah, gurih dan bisu
Warnai tutur di bening matamu
Merah, putih, dan seribu
Semerbak kata cinta dan rindu
Rekah, gurih dan beribu
Tenggelam lautku di pelupukmu
Bandung 2003
kangen 2.
Helai mukena di lemariku
Helai surat kata hatimu
Helai kangen akan hadirmu
Bandung 2003
cinta cinta cinta.
Tiga kali sehari resep sang muda
Sarapan cinta sarapan cinta
Setiap pagi setiap hari
Sajak cinta sajak cinta
Setiap hela nafas biasa
Rumah cinta rumah cinta
Masuklah ke dalam, kutimang kau di dekapan
Bandung 2003
kau memang.
dari warna cintamu
dari telaga matamu
dari teduh jiwamu
dari basah bibirmu
dari desah sayangmu
dari gairah bisikmu
dari hangat peluhmu
dari manis harummu
dari wangi mahkotamu
dari celah hasratmu
dari binar hasratku
dari dari dan dari
;Kau memang untukku
Bandung 2003
mbok jamu.
Tapaki jalan badai penuh duri berdesing lewati telinga ulu hati bergoyang hebat guncang guncang badanku badanmu berton-ton hasrat keinginan sudahi dan pamerkan ke seluruh dunia bermil-mil jauhnya tidak tampak pelupuk mataku gajah sipit dengan pundak luka berdarah berpeluh terbakar berton-ton lauk pauk dan juice serta yoghurt kesukaanmu terhidang nikmat tapi terikat erat perlahan bersama lepas tidak kuat ingin maju ingin maju menggapai lagi nambah lagi masih lapar karena semua terasa belum terpuaskan
;Jika saja beban pundakku seringan beban mbok penjual jamu yang lewat itu …
Bandung 2003
dikau.
yang menyusup menyeruak tirai itu
mengintipku menapaki aku
silau
Bandung 2002
suara sahabat.
hanya sebilah suara
semburat murka seketika
tiba kerati kendang di ulu-ulu
hanya sejentik liur
meniup membungkam padanan kata
akhir dari setiap persoalan
katakan kau melebih dari putih
warna-warnamu mencoreng koreng perih
katakan kau menindas dari perah
sgala tindak menghunjam geram parah
hanya sebilah suara
semburat senyum tersamar
tiba sadari cahaya; kau Cuma
s'orang sahabat
Bandung 2002
tak sampai.
mari tebarkan ria sama-sama
mari melangkah sama-sama
-tapi aku tak kuasa-
barusan ada pendobrak tekun mantraku
mari manjakan lidah sama-sama
mari kerati tanak sama-sama
-tapi tetap aku tak kuasa-
hangat tanganmu belai-belai semayamku
tapi tahu apa aku bila ada perih di sana?
rapat tubuhmu kecup-kecup gilaku
tapi tahu apa kamu bila aku selalu di situ?
Bandung 2002
bukan mantra.
aku bukan budakmu!
jatuhkan titah keringati tatih
aku bukan ujung telunjukmu!
jamahi aku gelitik sabarku
aku bukan liurmu!
teteskan satu banjiri seribu
aku bukan gundikmu!
aku bukan alasmu!
aku bukan siapamu!
;tunggang! lenggang! regang! pegang! gendang? dagang? usang! jambang! petang! gantang! tegang! gerayang! kandang! goyang? ranjang! rejang! kejang! gamang? biang!!
PERSETAN!!!
Bandung 2002
dewiku, o.
kerap hantui ubun impiku
berderap-derap di ujung rambutku
di gemeretak malamku
o
serap keringat ceceri selimutku
bergerak-gerak di bawah alamku
di gemerincing kailku
o
kerap gerayangi cemasku
berjingkat-jingkat di ujung mataku
di waktu lamunku
o ,
o ; dewiku?
cubit-cubit diriku tanganku dan segalanya itu
tidur bangun kujangkau hanya simpuli benakku.
Bandung 2002
cinderamata.
bukan keputusasaan kupilih melainkan
ingin kuburu hinggapi sekujurmu
bukan napsu buta kusari sedemikian
pria wanita kadang berbunuhan
hati merah darah tumpah
tanpa karat logam di genggaman
namun tetap liang terpilah
ingin kubantai cinderamata tentangmu
bukan kedunguan kusadur melainkan
ingin kukubur dalam liat bumiku
bukan elok bila bimbang tetap terpuaskan
pria wanita kadang berbunuhan
Bandung 2002
kupu mendayu.
belum bisa kukait cinta rembulan
memucat
semburatnya hantarkan hembus lembut pun gerakkan bakal sayapku liar
tumbuh kembangkah bulan di anyaman?
sulur kepompong kucoba kuakkan
malu-malu untuk memekarkan
sehingga sulit bagiku beterbangan
mungkin hangatmu belum ramah benar
belum mampu titi cinta rembulan
memucat
kututup celah bilur kepompong liat
belum berani kugambar sayap liar
di hembus angin malam
nuju rembulan kuredam
Bandung 2002
awan hitam.
gelegak menggelegak kepuli segala gelak
hisapkan diriku diam
melesak.
meluncur di kepalaku itu sang awan
tutup menutupi topengi segala
katup
sarungi aku kelam
perbudak.
tutupi wajah
hidung
malu
akal
putih
ku
dan terus mendesak ----- hitamkan kulit tanahku
sendiri.
Bandung 2002
tadi.
tadi kutitipkan setitik senyumku
untuk seutas wajah yang berlalu
untuk segaris tatap,
entah curiga atau apa
dan untuk manisnya kunciran di rambutnya yang meria
tadi kembali kulemparkan ronaku
untuk sekilas lembayung tubuh yang memerdu
untuk selekas iklan,
iklan radio atau apa
dan untuk manisnya sebentuk cemberut di bibir yang manyala
Bandung 2002
babi.
di traffic light--di traffic jam
kulum lembing di nganga mulutnya
goreskan pana siapa-siapa terdiam
manusia-manusia njelma babi-babi
di selokan-selokan--di jalanan
buahi hara dengan birahinya
limbahi kotor memendam apa-apa terdiam
manusia-manusia njelma babi-babi
di media massa--di layar kaca
pamer buncit di ujung bulu hidungnya
ngencingi bau pirsawan melongo terpana ha ha
Bandung 2002
ketombe sembilu.
berjuta ukir di relief ubunku
torehkan namamu di bilurnya
makin kukeram makin lekat
bergelimpangan jeritkan lafalmu
tidak!
jangan beraikan selubung kami!
;seru jerit desah rayu mereka berpencaran
tidak!
jangan pisahkan ibu kami!
;rayu manja basah satu serpih yang tercungkil sendirian
berjuta serpih kuliti kepalaku
lekat kerati haru biruku
kutebar-tebar mewangi madu
biar kuganti dengan sembilu
Bandung 2002
muncrat.
ingin kumuncrati halus wajahmu dengan isi mulutku, deras sungguh tertahan sejak di stasiun pertama pemberangkatan perjalanan tiga setengah jam ini, tapi aku mulai merasa takut kau akan berlindung dari sari-sari liur ujaranku, aku mulai takut kau akan menghunuskan payungmu di keramaian penumpang yang berdiri di lorong-lorong, aku mulai takut kau akan dikata orang gila berpayung di kepadatan parahyangan bisnis satu ini, aku mulai takut memulai memuncratimu dengan sapa salam omongan dan segala macamnya yang makin membuatku semakin takut, muncrat
laba-laba.
susah sekali membersihkan ruang di sudut-sudut dan pojokan-pojokan dari serbuan laba-laba yang dengan santainya bersarang di mana-mana di sekujur kamarku, begitu juga kenangan tentangmu yang makin merambati sekujur tubuh dan otakku di pagi subuh ini
permen.
seperti anak kecil aku mengidolakan permen untuk bersemayam di kantongku di setiap perjalanan jauh, sebagai modal pembicaraan atau modal kalau tiada pembicaraan, tapi kali ini sepertinya wanita di sebelahku tidak melirik sedikitpun ke arah permenku mungkin karena permen itu sudah berlumuran air liur dari pembicaraan-pembicaraan sebelumnya
jatuh cinta.
puisi berserakan.
puisi-puisi berserakan di setiap sudut sunyi hatiku, maukah kau mencicipinya barang satu bersamaku?
nyanyi sore.
paling nikmat di sore hari adalah bernyanyi-nyanyi dengan kawan di kamar kos yang benderang karena lampu di hari hujan, menyanyi di hari hujan sangatlah menguras tenaga karena harus berhadapan dengan suara petir di luar jendela yang seakan ingin menjepret mukaku dan menegurku bahwa ritual alam dengan petir hujan dan segala macamnya janganlah diganggu dengan keinginan sombong suara manusia yang ingin meningkahi ataupun mengalahkan alam, karena selamanya kau tidak akan pernah mampu
telanjang.
apa bedanya kalau begitu aku dengan orang gila yang suka memamerkan kemaluannya di pinggir jalan tersenyum-senyum mengejar-ngejar ayam bila aku pun suka menelanjangi diriku sendiri walaupun itu lewat tulisan? apakah sama pula kedudukanku bila aku alihkan haluan menjadi menelanjangi orang lain kecuali diriku? tapi mengapa pula manusia seperti saya suka dengan ketelanjangan? mungkin itu artinya secara sadar dan tidak sadar, manusia sudah mengakui segala kebaikan dan kebajikan seorang manusia yang dimuliakan dengan ketelanjangan, kepolosan, tanpa ada selubung, noda, atau apapun yang menutupi sifat kemanusiaan itu sendiri, tapi mengapa masih banyak manusia yang malu untuk menjadi diri sendiri, malu untuk membersihkan diri sendiri, malu untuk telanjang??
menelanjangi diri.
kulihat ia.
kulihat ia menoleh
dipaut mimpi kembali
dan kupastikan ia menoleh
hati kami paut simpulkan perih surgawi
kuikuti ia menatap
terduduk di kaki
dan kupastikan ia menoleh
hati kami kabut kepulkan perih duniawi
kulepaskan ia menoleh
papasan dalam ketika
dan kupastikan ia tetap menoleh
karena bertautan kami simpulkan bersama
Bandung 2002
bau!.
itu katamu ketika kuledakkan isi perutku
yah mungkin saja begitu
sebab berisikan muasal hati dimana kusemayamkan citramu
bau sekali!
itu jeritmu ketika kutumpahkan residunya ke kakimu
yah memang betul begitu
sebab terkandungkan koreng
wuah! bauu! mati akuuu!
itu teriakmu ketika kuguyurkan semuanya
Bandung 2002
pintu kecil.
tepat di bawah hamparan lembar kecil untukmu masa dahulu
kumasukkan tubuhku ke dalamnya
ada ramai kendaraan di sebuah pertigaan
dapat kuingat kata bertemu lembar kecilku masa dahulu
kuhampiri janjiku di keramaian
ada sebuah cerita di jalan itu
di belasan masa dahulu
kuleburkan apiku ke baranya
Bandung 2002
ada cinta.
Tolong lepaskan ia dari kekangnya.
Bandung 2003
disini tiada.
karena disini tiada lututmu
kuseruput kerutku
karena disini tiada ronamu
kujemput bayangmu
karena disini tiada wujudmu
Bandung 2003
silau hujannya cinta pertama.
haluskan kilap pendarmu
kangen senyum bibir merah jambu
bangun anganku pulas terbaring
di silau hujannya cinta untukku
kamu: hidupku.
Bandung 2003